Buku Unlicensed to Kill (2006) mendapat ulasan oleh seorang mahasiswa Universiti Airlangga (Indonesia) seperti di bawah.
Sumber ulasan sebenar di sini.
Maklumat buku, di sini.
———————–
Siapa yang tidak pernah mendengar kasus Bom Bali 1 yang didalangi oleh Imam Samudra bersama kawannya, Ali Imron dan Amrozi. Kasus ini segera menjadi perhatian mancanegara karena terdapat korban jiwa selain WNI, terutama penduduk Australia yang berjumlah 88 orang. Tragedi ini langsung membuat Jamaah Islamiyah dilabeli sebagai kelompok teroris, terlepas tokohnya, Abu Bakar Ba’asyir menolak adanya keterlibatan di dalam tragedi tersebut.
Sebagai tokoh sentral dalam peristiwa Bom Bali 1, Imam Samudra memang menjadi sorotan beberapa peneliti, diantaranya adalah James McIntyre yang menuliskan Imam Samudra’s Revenge dan Muhammad Haniff Hassan dalam bukunya ini. Sebagai akademisi dari Nanyang Technological University, Haniff Hassan berusaha menggarisbawahi pandangan yang dibawa oleh Imam Samudra dan kesesatan di dalamnya. Seperti apa kesesatan itu? Berikut ulasannya.
Imam Samudra memaknai Jihad tidak jauh berbeda dengan ulama’ pada umumnya. Jihad dimaknai sebagai usaha semaksimal mungkin dalam mencapai tujuan. Orang yang sedang mencari jalan dalam perjuangannya bisa dianggap sedang ber-Jihad. Menurut penulis, melalui sudut pandang Syariah, Jihad adalah usaha dalam menegakkan Hukum Allah, menyebarkan dan melaksanakannya. Namun juga bisa bermakna memerangi orang kafir yang melawan Islam atau Muslim. Secara lengkap disebut dengan Jihad fi Sabilllah (berjuang dijalan Allah).
Seperti Abdullah Azzam, Imam Samudra mengikuti pandangan ulama Salafus Shalih dari empat mahzab utama di Islam. Rujukannya adalah Al-Jihad Sabiluna oleh Syaikh Abdul Baqi Ramdhun, Kitabul Jihad ditulis oleh Syaikh Ibnul Mubarak, dan Fi At-Tarbiyah al-Jihadiyah wal-Bina’ oleh Dr. Abdullah Azzam. Rujukan terakhir telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Jazera dengan judul Tarbiyah Jihadiyah.
Sasaran utama Bom Bali 1 adalah Warga Negara Amerika Serikat dan kawan-kawannya yang dianggap bersalah dalam menyerang umat Islam di Afghanistan pada tahun 2001. Imam Samudra menganggap, bahwa mereka pantas untuk diserang. Ia menggunakan Surat At-Taubah ayat 36 sebagai pembenaran bahwa sasarannya adalah kaum musyrikin. Penyerangan di Bali adalah perlawanan terhadap penyerbuan Afghanistan.
Imam Samudra beranggapan banyak orang mati di Afghanistan karena ulah Amerika Serikat melalui embargo oleh PBB, penyerangan Israel yang dibekingi oleh Pentagon, dan kebrutalan AS dalam menyerang daerah Timur Tengah pasca tragedi 9/11. Kelakuan AS ini menjadi pembenaran Imam Samudra dalam melawan AS melalui Bom Bali 1 yang memang ditujukan ke AS.
Kesesatan berpikir ini diluruskan oleh Haniff Hassan dengan menjelaskan bahwa menyasar masyarakat sipil tidak diperbolehkan dalam Islam. Ia menggunakan Surat Al-Baqarah ayat 190, dimana Allah melarang agresi, peperangan atas nama-Nya ialah kepada mereka yang menyerang umat Islam (tentara AS), namun tidak diperbolehkan melakukan agresi militer.
Pandangan lainnya mengambil dari Surat Al-Baqarah ayat 191 yang mengutarakan untuk membunuh siapapun yang melawan Islam dimanapun. Ayat ini adalah pembenaran Imam Samudra dengan penjelasan: lebih mudah menyerang target yang homogen ketimbang heterogen. Sehingga ia mencari tempat dimana warga AS dan sekutunya berkumpul, yakni Sari Clun dan Paddy’s Club di Bali. Dia berkilah bahwa waktu pengeboman telah ditentukan dengan pertimbangan untuk menghindari korban selain yang disasar (korban lokal), permasalahan korban inilah yang ia sesali, bahkan meminta maaf pada keluarga korban.
Dalam berjihad, selain karya Abdullah Azzam, Imam Samudra juga menggunakan Tafsir Ibnu Katsir. Tahapan pertama adalah kesabaran, ia menganggap bahwa mujahid harus memiliki kegigihan dalam melawan serangan-serangan orang kafir. Ia juga menekankan penganut agama lain selalu berusaha mengajak muslim untuk menjauhi ajaran Islam. Dalam keadaan ini, muslim harus menjaga diri mereka dan mengacu kepada Al-Baqarah ayat 109, bahwa umat Islam dilarang melakukan penyerangan dalam posisi kafful yad (menahan diri).
Tahapan kedua, diperbolehkannya melakukan perlawanan apabila gangguan fisik semakin menjadi-jadi dan orang kafir berusaha mengusir umat Islam dari tanah airnya. Adapun ayat yang digunakan oleh Imam Samudra untuk perkara ini adalah Surat Al-Hajj ayat 39-40 yang menurutnya memuat seruan untuk berperang. Sedangkan tahapan ketiga menjadikan Jihad sebagai sesuatu yang wajib dilaksanakan umat Islam dalam lingkup tertentu yakni mempertahankan diri dengan dalil Surat Al-Baqarah ayat 47, 183 dan 190.
Tahapan keempat memperlihatkan kewajiban umat Islam untuk melawan orang kafir menggunakan pembenaran yakni Surat At-Taubah ayat 5, 9, 36 dan Hadis Bukhari bahwa Nabi Muhammad SAW menyuruh umat Islam memerangi musuhnya hingga musuh-musuh tersebut memeluk Agama Islam. Ia juga mengutip Ali bahwa Rasulullah pernah menjelaskan ada empat jenis musuh. Lebih jauhnya bisa dibaca dalam buku ini.
Dapat dilihat di atas bahwa ayat Al-Qur’an maupun dalil dari Al-Hadis digunakan untuk membenarkan tindakan yang dilakukan oleh Imam Samudra. Meskipun penjelasan Haniff Hassan tergolong rinci, namun kritikan tidak langsung ia berikan dalam satu bab yang sama dan panjang sekali dalam menjelaskan dalil-dalil tersebut. Bab ini terkesan hanya menuliskan ulang bagaimana seorang yang menganggap dirinya mujahidin menginterpretasikan dalil sesuai kebutuhannya.
Namun pembahasan lebih jauh diberikan oleh penulis setiap kali masuk ke dalam halaman baru. Buku ini memuat konter-narasi yang dibutuhkan oleh agamawan yang nantinya akan ditugaskan untuk melaksanakan deradikalisasi dan rehabilitasi teroris. Penggunaan dalil dan ayat dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadis adalah kunci dimana para teroris nantinya akan menentukan, apakah mereka akan berhenti melakukan tindak terorisme, atau melanjutkan apa yang telah mereka mulai.
Penggunaan narasi dalam tindakan bom bunuh diri juga menjadi kunci. Bagi para mujahidin layaknya Imam Samudra menyatakan bahwa tindakan Bom Bali 1 bukanlah bom bunuh diri, melainkan amaliyat istisyhadiyah atau tindakan seperti Jihad. Operasi militer pun dianggap sebagai Operasi Syahid. Operasi atau peperangan semacam ini masih diperdebatkan dalam Syariat. Peperangan yang menekankan kepada ke-syahid-an dikembalikan lagi pada niatan aktor-aktor dalam peperangan. Apabila tujuannya tidak berhubungan dengan agama, maka peperangan dianggap tidak sah secara agama atau haram.
Ada tiga konsep mengenai tujuan peperangan semacam ini: at-Takhlukah (membawa kehancuran pada diri sendiri) yang diharamkan; al-Izzah (martabat) adalah berperang habis-habisan terkait dengan martabat agama, hal ini bisa dilarang apabila perang penghabisan tersebut justru merugikan umat Islam yang sedang berperang, resiko kematian boleh diperhitungkan apabila serangan yang akan dilakukan akan memberi dampak kepada musuh; al-Ithar (berkorban untuk orang lain), meskipun masih diperdebatkan konteksnya, namun hal ini diperbolehkan apabila tindakan yang dilakukan memberi kebaikan daripada jika tidak dilakukan.
Penjelasan Haniff Hassan terkait konsep dan istilah yang digunakan oleh Imam Samudra bisa dibilang gamblang. Buku ini akan menjadi pegangan yang pas bagi agamawan, baik yang mengimplementasikan program deradikalisasi, rehabilitasi, atau kontra-radikalisasi di kalangan masyarakat. Akan tetapi, bagi policy-maker, agaknya karya Haniff Hassan ini kurang tepat, meskipun ayat-ayat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis juga dikutip dalam bahasa Inggris, untuk memudahkan khalayak umum dalam memahami isi buku ini.
TENTANG PERESENSI
Reza Maulana Hikam adalah mahasiswa S1 Ilmu Administrasi Negara di FISIP Universitas Airlangga